79 tahun lalu, pada hari Jumat yang mulia, tepatnya tanggal 9 Ramadhan 1364 Hijriah, para pahlawan kita memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Bagi orang-orang yang tidak mengerti agama, ini adalah hal yg biasa. Tak ada yg istimewa, Tapi bagi orang yg beriman, ini sesuatu yg luar biasa istimewa. Karena pada saat itu bertemunya dua kemuliaan. Kemuliaan hari Jum’at sebagai sayyidul Ayyaam dan kemuliaan bulan Ramadhan sebagai Sayyidus Syuhur. Mereka para pejuang kemerdekaan paham dan mengerti akan hal tersebut, karena mereka adalah orang-orang yang religius, orang-orang yang beragama. Sehingga dipilihlah hari yg paling mulia di bulan yg paling mulia.
Inilah yang sering luput dalam pelajaran sejarah, bahkan hampir tak pernah disebutkan dalam pelajaran sejarah di sekolah anak-anak kita. Bahwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia itu tepat Pada Hari Jum’at tanggal 9 Ramadhan. Dan ini jarang sekali diketahui oleh generasi muda bangsa ini. Banyak yang tidak tahu dan tidak paham bahwa kemerdekaan negri ini berkaitan erat dengan nilai-nilai keislaman. Banyak yang melupakan bahwa kemerdekaan Negri ini semata-mata adalah karena Rahmat dan pertolongan dari Allah SWT.
Kita merdeka bukan karena senjata yg canggih, kita merdeka bukan karena tentara yg banyak, bukan karena tentara yg terlatih. Kebanyakan dari para pejuang kita hanyalah rakyat biasa, para santri, para petani, para ulama. Dinilai dari sudut pandang manapun, menurut ahli strategi perang manapun, adalah hal yang mustahil kita akan mampu menang melawan para penjajah itu.
Tapi dengan pertolongan Allah SWT, dengan kuasa Allah SWT lah kita bisa mencapai dan mempertahankan kemerdekaan itu. Maka hal itu disadari pula oleh para pendiri bangsa ini, sehingga mereka tuangkan dalam pembukaan UUD 1945. “Bahwa Kemerdekaan Indonesia atas berkat Rahmat Allah swt ” Bangsa ini merdeka karena pertolongan Allah SWT, karena semangat perjuangan ummat Islam, karena fatwa jihad dari para Kyai. Salah satu diantaranya adalah Fatwa Resolusi Jihad yang dikeluarkan Oleh KH. Hasyim Asy’ari yg membakar semangat ummat islam untuk berjuang pada pertempuran 10 November di Surabaya, yg sampai sekarang kita peringati sebagai Hari Pahlawan Nasional .
Namun setelah 79 tahun berlalu, apa yg terjadi hari ini?. Dinegri ini simbol-simbol islam itu sudah mulai dikesampingkan, ajaran-ajaran islam semakin disudutkan, suara azan sudah mulai minta dipelankan, masjid sudah mulai diatur-atur sholatnya dengan kebijakan, kalimat Tauhid dianggap simbol terorisme, teriakan takbir dianggap ekstrimisme. Menegakkan ajaran islam dianggap radikalisme.
Padahal Negri ini dibangun diatas pondasi pilar-pilar Islam. Jangan lupa!. Bahwa raja-raja islamlah yang menyatukan Negara ini menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mereka rela melepas kekusaannya, sehingga Negara ini bisa terbentuk menjadi NKRI. Raja hamongkubuwono, Yogyakarta sultan syarif kasim Sumatera rela meninggalkan dan menyerahkan kerajaannya demi terciptanya negara kesatuan Republik Indonesia.
Tapi hari ini kita justru dihadap-hadapkan dengan pilihan, Pilih Pancasila atau syari’at islam? Pilih Konstitusi atau Alqur’an?. Seolah-olah orang yg menegakkan Syari’at Islam berarti dia tidak Pancasila, tidak cinta NKRI. Padahal Negri ini merdeka atas perjuangan umat Islam, kemerdekaan Negri ini diperjuangkan dengan kalimat Allah. Bung Tomo di Surabaya, Teuku Umar di Aceh, Imam Bonjol di Sumatra Barat, Pangeran Diponegoro di Jawa, Sultan Hasanuddin di Sulawesi mereka semua meneriakkan Takbir Allahu Akbar, untuk membakar semangat para pejuang dalam mengusir para penjajahan.
Juga bagaimana panglima besar Jendral Sudirman yg bergerilya di tengah hutan belantara, dalam keadaan sakit dan ditandu. Namun sholat berjamaahnya tetap tak pernah tinggal, dzikirnya tetap berkumandang, maka do’a dan perjuangan mereka inilah yg membuat kita bebas dari penjajahan, dari kezaliman orang-orang kafir itu. Maka sampaikan hal ini kepada anak-anak muda generasi penerus bangsa ini, jangan sampai mereka lupa dalam perjuaangan para pahlawan bangsa
Penulis : Al-Ustadz Muhammad Yogi, S.H ( Musyrif Ma’had Tahfidz Bukaka)