Pagi itu, suasana di halaman pesantren terasa berbeda. Ratusan santri duduk berjajar rapi, sementara di barisan belakang, para wali santri hadir dengan penuh perhatian. Hari itu adalah hari ujian hafalan Al-Qur’an, dan KH. Ahmad Bukaka, sang Kiai yang dihormati, mengambil waktu untuk menyampaikan nasihat.
Sebelum memulai, beliau memandang wajah para santri satu per satu, seperti menyelami hati mereka yang dipenuhi berbagai perasaan—antara takut, cemas, dan harap. Lalu, dengan suara lembut, beliau memulai.
“Anak-anakku yang dicintai Allah, sebelum kalian melangkah ke medan ujian ini, izinkan saya bertanya. Apakah ada di antara kalian yang merasa ragu atau takut menghadapi ujian ini?”
Seorang santri mengangkat tangan dengan ragu-ragu. Wajahnya tampak pucat. Dengan penuh hormat, ia berdiri.
“Saya, Kiai,” ucapnya lirih. “Saya merasa belum siap. Setiap kali mengulang hafalan, ada saja yang terlupa. Saya takut mengecewakan Kiai, teman-teman, bahkan orang tua saya yang hadir di sini.”
KH. Ahmad Bukaka tersenyum, lalu melambaikan tangannya agar santri itu mendekat.
“Apa namamu, Nak?”
“Abdullah, Kiai,” jawabnya pelan.
Sang Kiai memegang bahu Abdullah dengan penuh kasih sayang.
“Abdullah, apakah kau tahu apa yang paling Allah nilai dari perjuanganmu ini?”
Abdullah menggeleng, air matanya mulai jatuh.
“Bukan hasil hafalanmu, Nak. Bukan sempurnanya bacaanmu. Tapi, usaha dan keikhlasan hatimu. Allah tahu betapa kau telah berjuang. Tidakkah kau ingat bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Orang yang terbata-bata membaca Al-Qur’an tetapi terus berusaha akan mendapat dua pahala: pahala membacanya dan pahala atas kesulitannya.’ Maka, jangan takut salah. Jangan takut lupa. Karena setiap usaha yang kau lakukan adalah bentuk cintamu kepada Allah dan kalam-Nya.”
Abdullah menangis tersedu, lalu bersimpuh di hadapan Kiai. “Kiai, saya takut gagal.”
KH. Ahmad Bukaka mengangkatnya perlahan, menatap matanya dalam-dalam.
“Gagal? Gagal hanya ada jika kau menyerah, Nak. Selama kau terus berusaha, kau sudah menjadi pemenang di mata Allah. Percayalah, setiap ayat yang kau hafal adalah cahaya yang akan membimbing langkahmu, bahkan jika kau lupa sebagian darinya. Al-Qur’an itu tidak hilang, ia hanya kembali kepada Pemiliknya untuk kau perjuangkan lagi.”
Suasana menjadi sangat haru. Para santri menunduk, tak mampu menahan air mata. KH. Ahmad Bukaka berdiri, lalu menghadap ke arah para wali santri.
“Para wali santri yang saya hormati, lihatlah anak-anak ini. Mereka sedang menapaki jalan kemuliaan. Tetapi jalan ini tidak mudah. Ada air mata, ada kegagalan, ada rasa lelah. Maka, bantulah mereka dengan doa-doa kalian. Ketahuilah, anak-anak ini sedang berjuang untuk menjadi penjaga kalam Allah. Hafalan mereka adalah investasi kita, jalan kita menuju surga. Maka jangan pernah berhenti mendukung mereka, meski dengan kata-kata sederhana seperti, ‘Nak, Ibu yakin kau bisa,’ atau, ‘Nak, Ayah bangga padamu.’ Kata-kata itu adalah kekuatan bagi mereka.”
Seorang wali santri, seorang ibu dengan wajah penuh haru, berdiri dan berkata, “Kiai, kadang kami sebagai orang tua terlalu menuntut mereka. Kami ingin mereka cepat hafal, ingin mereka sempurna. Apakah kami salah?”
KH. Ahmad Bukaka tersenyum, lalu berkata lembut, “Tidak ada salahnya berharap, Bu. Tetapi ingatlah, Al-Qur’an ini bukan sekadar hafalan di kepala, tapi cahaya yang harus meresap ke hati. Jangan ukur perjuangan mereka dengan target kita, ukur dengan kesabaran mereka. Yang mereka butuhkan adalah doa, bukan tuntutan. Ujian ini adalah ujian untuk kita juga, orang tua. Ujian kesabaran kita dalam mendukung perjuangan mereka.”
Ibu itu menangis, diikuti beberapa wali santri lainnya.
KH. Ahmad Bukaka mengangkat kedua tangannya, bersiap memimpin doa. Namun sebelum itu, ia berbisik kepada para santri, “Ingatlah, Nak. Jika kau merasa tak mampu, mintalah kepada Pemilik Al-Qur’an. Katakan kepada-Nya, ‘Ya Allah, aku ini lemah, kuatkan aku. Aku ini bodoh, ajari aku. Aku ini hina, muliakan aku dengan Al-Qur’an.’ Doa kalian, jika tulus, akan menggetarkan langit.”
Dengan suara bergetar, beliau memanjatkan doa, “Ya Allah, Yang Maha Rahman, kuatkan hati anak-anak kami ini. Lapangkan dada mereka, tanamkan ayat-ayat-Mu di hati mereka, dan jadikan mereka cahaya keluarga kami. Ampuni kami, para orang tua, yang kadang lupa untuk bersabar. Jadikan mereka penjaga Al-Qur’an, dan jadikan kami orang tua yang ikhlas dan mendukung perjuangan mereka. Aamiin.”
Doa itu diiringi suara isak tangis yang menggema di seluruh pesantren. Para santri merasa lebih tenang, lebih yakin bahwa mereka tidak sendiri. Sementara para wali santri pulang dengan hati yang lebih lembut, bertekad untuk menjadi pendukung terbaik bagi anak-anak mereka dalam perjuangan yang mulia ini.
Abuzatein
Mudir MTB
[bookify id=”13731″]